Selasa, 02 Desember 2008

Dipa di Lihat dari Bentuk dan Fungsinya Pada Kebudayaan Jawa Kuna


Dipa atau lampu merupakan salah satu artefak yang terbuat dari logam perunggu, hal ini tidak berarti bahwa tidak ada dipa yang terbuat dari tanah. Penggunaan dipa dalam masyarakat sangat dipengaruihi oleh tingkat strata dan status sosial yang ada pada masyarakat, mungkin terdapat golongan masyarakat yang memiliki dipa dengan bahan logam dan mungkin masyarakat yang kurang mampu atau masyarakat rendah menggunakan dipa yang tidak terbuat dari logam.

Bagian-bagian penting dari dipa adalah tempat minyak dan tempat subu. Bentuk artefaktualnya dan cara peletakannya ada dua yaitu, dipa gantung, dipa berdiri. Ada tiga motif pada penggunaan tempat minyaknya yaitu, motif flora, motif fauna, dan motif manuasia. Sedangkan jika dilihat dari jumlah sumbunya dipa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang bersumbu tunggal dan bersumbu banyak (dua, tiga, empat, atau lima).

Pada tipe dipa dengan cara peletakannya baik secara gantung dan berdiri memiliki bentuk-bentuk yang khusus dan memiliki ciri yang khusus. Tipa gantung memiliki baberapa bentuk, yaitu:
1. Lampu gantung bentuk burung garuda
2. Lampu gantung bentuk burung
3. Lampu gantung bentuk kinari
4. Lampu gantung bermotif suluran

Sedangkan tipe berdiri adalah sebagai berikut :
1. Lampu berdiri bentuk mangkuk bertangkai
2. Lampu berdiri bentuk padma
3. Lampu berdiri berujung lingga
4. Lampu berdiri bentuk manusia
5. Lampu berdiri bentuk gajah
6. Lampu berdiri bentuk ketonggeng

Dari beberapa contoh diatas bahwa para pande perunggu dalam menciptakan bentuk lampu memadukan unsur-unsur teknis dan estetis. Hal ini terlihat pada bentuk tempat minyak dan sumbu. 

Pada lampu yang memiliki bentuk binatang, anggota tubuh binatang tersebut sekaligus difungsikan secara teknis, misalnya tubuh gajah yang berlubang diperuntukkan untuk tempat minyaknya sedangkan sumbunya ditempatkan pada belalainya. Pertimabangan dari segi estetis tersebut masih diperkuat lagi pada motif hiasan yang berupa flora dan fauna. Di dalam karya sastra dipa memiliki pengertian dan makna tertentu yang berkaitan dengan fungsinya, yang tercerminkan lewat model dan motifnya. Makna-makna tersebut dapat dilihat dari penggunaan lambang yang berupa flora dan fauna, yaitu:
  1. Kinnari dan kinara yang merupakan sejenis makhluk surga, yang pada asalnya adalah seorang manusia berkepala kuda., dan kemudian diwujudkan sebagai makhluk berkepala manusia berbadan burung. Dalam dunia kedewaan kinara adalah pemusik dan penyanyi bagi para Dewa. 
  2. Motif gajah yang terdapat pada dipa memiliki makna yang sakral, hal ini dikarenakan gajah dalam agama Budha merupakan simbol kekuatan, kejantanan, dan juga simbol kebijaksanaan. Sedangkan dalam agama Hindu, gajah dianggap sebagai benda yang membawa keberuntungan (astamangala) yang dipergunakan dalam upacara penobatan raja. 
  3. Garuda, binatang ini pada mulanya dianggap sebagai simbol dari matahari, dan garuda merupakan kendaraan dari dewa Wisnu. 
  4. Linga – Lingodbhayamurti, merupakan simbol dari dewa Siwa dan identik sekali dengan kesuburan.
Sumbu yang dipergunakan dalam dipa ini juga memiliki fungsi dan makna trsendiri. Lampu yang bersumbu 5 adalah lampu yang sangat suci dan dipergunakan dalam pemujaan dewa Siwa karena angka 5 merupakan angka suci bagi Siwa. Lampu yang bersumbu 4 memiliki pengertian bahwa lampu ini merupakan lampu yang dipergunakan dalam Sivapuja makna bahwa sumbu yang berjumlah 4 disempurnakan dengan sinar yang ke- 5 yang diwujudkan dalam bentuk lingga sebagai pusat yang dikelilingi oleh 4 sinar. Pemilihan jumlah sumbu yang berjumlah 3 mungkin ditandai bahwa angka 3 merupakan angka yang keramat dan juga dihubungkan dengan 3 dewa (Trimurti) ; Siwa, Brahma, Wisnu.

Adanya aspek ideoteknik tercermin pada artefak ini, yaitu pada dipa yang cara pengguanaannya digantung (lampu gantung). Hal ini erat sekali kaitannya dengan sistem ideologi atau keagamaan yang ada pada masa itu. Pengguanaan dipa pada masa Jawa Kuna bukan semata-mata sebagai alat penerang saja (artefak) yang digunakan dalam kehidupan masyarakat pada waktu itu, karena perunggu yang dipergunakan sebagai bahan dasar pembuatan dipa (lampu) tersebut merupakan bahan yang cukup mahal pada saat itu. Sehingga kepemilikan dipa tidaklah sembarangan dan kemungkinan hanya dimiliki oleh Raja dan golongan tertentu dan dengan kepentingan tertentu pula. Hal inilah yang mendorong adanya nilai prestisius dalam kepemilikan benda ini.


Daftar Pustaka
Haryono, Timbul. 1989. Laporan Penelitian : Dipa, Bentuk Artefaktual dan Fungsinya Dalam sistemn Budaya Masyarakat Jawa Kuna. Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM

0 komentar: